Lingkungan Hidup
Indonesia
Wilayah Indonesia memiliki keanekaragaman makhluk hidup yang tinggi
sehingga oleh
beberapa pihak wilayah ekologi Indonesia disebut dengan istilah
"Mega biodiversity" atau
"keanekaragaman mahluk hidup
yang tinggi umumnya dikenal sebagai Indomalaya
atau Malesial berdasarkan penelitian bahwa 10 persen tumbuhan,
12 persen mamalia, 16 persen reptil, 17 persen burung, 25 persen ikan yang ada
di dunia hidup di Indonesia, padahal luas Indonesia hanya 1,3 % dari luas
Bumi. Kekayaan makhluk hidup Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah Brasil dan Republik
Demokratik Kongo.
Meskipun demikian, Guinness
World Records pada 2008
pernah mencatat rekor Indonesia sebagai negara yang paling kencang laju
kerusakan hutannya di dunia. Setiap tahun Indonesia kehilangan hutan seluas 1,8
juta hektare. Kerusakan yang terjadi di daerah hulu (hutan) juga turut merusak
kawasan di daerah hilir (pesisir). Menurut
catatan Down The Earth, proyek Asian
Development Bank (ADB) di
sektor kelautan Indonesia telah memicu terjadinya alih fungsi secara
besar-besaran hutan bakau menjadi kawasan pertambakan. Padahal hutan bakau, selain berfungsi melindungi pantai dari abrasi, merupakan habitat yang baik
bagi berbagai jenis ikan. Kehancuran hutan bakau tersebut mengakibatkan nelayan
harus mencari ikan dengan jarak semakin jauh dan menambah biaya operasional
mereka dalam mencari ikan. Selain itu, hancurnya hutan bakau juga mengakibatkan
semakin rentannya kawasan pesisir Indonesia terhadap terjangan air pasang laut
dan banjir, terlebih di musim hujan.
Seni music Indonesia
Seni musik di
Indonesia, baik tradisional maupun modern sangat banyak terbentang dari 'Sabang hingga Merauke. Setiap provinsi di Indonesia memiliki
musik
tradisional dengan ciri
khasnya tersendiri. Musik tradisional termasuk juga Keroncong yang berasal dari keturunan Portugis di daerah Tugu, Jakarta, yang dikenal oleh semua rakyat
Indonesia bahkan hingga ke mancanegara. Ada juga musik yang merakyat di
Indonesia yang dikenal dengan nama dangdut yaitu musik beraliran Melayu modern
yang dipengaruhi oleh musik India sehingga musik dangdut ini sangat berbeda
dengan musik tradisional Melayu yang sebenarnya, seperti musik Melayu Deli,
Melayu Riau, dan sebagainya.
Alat musik
tradisional yang merupakan alat musik khas Indonesia memiliki banyak ragam dari
pelbagai daerah di Indonesia, namun banyak pula alat musik tradisional
Indonesia yang diklaim oleh negara lainuntuk kepentingan penambahan budaya dan
seni musiknya sendiri dengan mematenkan hak cipta seni dan warisan budaya
Indonesia ke lembaga Internasional UNESCO. Alat musik tradisional Indonesia antara
lain meliputi:
- Angklung
- Bende
- Calung
- Dermenan
- Gamelan
- Gandang Tabuik
- Gendang Bali
- Gendang Karo
|
- Gondang
Batak
- Gondang
(musik Sunda)
- Gong Kemada
- Gong Lambus
- Jidor
- Kecapi
Suling
- Kecapi Batak
- Kendang Jawa
|
- Kenong
- Kulintang
- Rebab
- Rebana
- Saluang
- Saron
- Sasando
|
- Serunai
- Seurune Kale
- Suling Lembang
- Suling Batak
- Suling Sunda
- Talempong
- Tanggetong
|
Sejarah
HAM Di Indonesia
Menurut Hendarmin
Ranadineksa Hak Asasi Manusia pada hakekatnya adalah seperangkat ketentuan atau
aturan untuk melindungi warga Negara dari kemungkinan penindasan, pemasungan
dan atau pembatasan ruang gerak warga Negara oleh Negara. Artinya ada
pembatasan-pembatasan tertentu yang di berlakukan pada Negara agar warga Negara
yang paling hakiki terlindung dari kesewenang-wenangan kekuasaan.
Tetapi nyatanya banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh
Negara terhadap hak-hak asasi warga negaranya, seperti kekejam yang dilakukan
oleh Negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam perang dunia II. Hal ini
mendorong pemikiran bahwa perlu adanya aturan tertulis yang melindungi hak-hak
asasi warga Negara agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran serupa di
kemudian hari.
Istilah
hak asasi manusia di Indonesia, sering disejajarkan dengan istilah hak- hak
kodrat, hak-hak dasar manusia. natural rights, human rights, fundamental
rights, gronrechten, mensenrechten, rechten van den mens dan fundamental
rechten Menurut Philipus M Hadjon, di dalam hak (rights), terkandung adanya
suatu tuntutan (claim) .
Hak asasi sendiri sudah menjadi pembahasan sejak abad XVII setelah perang dunia
ke II dan pada pembentukan PBB pada tahun 1945, menggantikan natural right yang
menjadi kontroverasi karena pemahaman dan konsep hukum alam yang berkaitan
dengan hak-hak alam. Pada abad XX berkembang adanya konversi hak-hak asasi
manusia yang sifatnya kodrat menjadi hak-hak hukum (positif) dan hak-hak sosial
(sosiale grondrechten). Pada masa ini munculnya Piagam PBB.
Pada
tanggal 10 Desember 1948 PBB mendeklarasikan piagam Hak Asasi Manusia yaitu
Universal Declaration of Human Rights yang menjadi Internasional yang
mengilhami instrument tambahan dan deklarasi HAM lainnya. Deklarasi HAM sedunia
itu mengandung makna ganda, baik keluar (antar Negara-bangsa) maupun ke dalam
(intra Negara bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di Negara
masing-masing. Makna keluar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan
menunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar Negara bangsa, agar terhindar
dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang menghancurkan
nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa
deklarasi HAM se-Dunia itu harus senantiasa menjadi criteria obyektif oleh
rakyat dari masing-masing Negara dalam menilai kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintahannya.
Sebagai
sebuah pernyataan atau piagam Universal Declaration of Human Rights baru
mengikat secara moral namun belum secara yuridis. Tetapi meskipun tidak
mengikat secara Yuridis namun dokumen ini memiliki pengaruh moril, politik, dan
edukatif yang sangant besar Dokumen ini melambangkan “commitment” moril dari
dunia internasional pada norma-norma dan hak asasi.
Agar pernyataan itu dapat mengikat secara yuridis harus di tuangkan dalam
perjanjian unilateral. Tanggal 16 desember 1966 lahirlah Convenant dari sidang
umum PBB yang mengikat bagi Negara-negara yang meratifikasi Convenant
(perjanjian) tersebut.
Perjanjian tersebut memuat :
a. Perjanjian yang memuat hak-hak ekonomi, social dan budaya, (Convenant on
economic, social and culture), memuat hal-hal sebagai berikut; hal atas
pekerjaan (Pasal 6), membentuk serikat pekerja (Pasal 8), hak pension (Pasal
9), hak tingkat hidup yang layak bagi diri sendiri dan keluarga (Pasal 11), dan
hak mendapat pendidikan (Pasal 13)
b. Perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik (Convenant on civil and
political rights) yang meliputi ; Hak atas hidup (Pasal 6), kebebasan dan
keamanan diri (Pasal 9), kesamaan di muka badan-badan peradilan (Pasal 14),
kebebasan berfikir dan beragama(Pasal19), kebebasan berkumpul secara damai
(Pasal 21), dan hak berserikat (Pasal 22).
Semula HAM ini hanya di akui di Negara-negara maju saja, Indonesia menjadi
salah satu anggota PBB dan sesuai dengan perkembangan kemajuan transportasi dan
komunikasi secara meluas, maka Negara berkembang seperti Indonesia mau tidak
mau, harus menerimanya untuk melakukan ratifikasi instrument HAM internasional
sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kebudayaan
bangsa Indonesia .
HAM
bukanlah wacana yang asing dalam pelaksanaan politik dan ketatanegaraan di
Indonesia. Pembahasan mengenai HAM dalam ketatanegaraan Indonesia yang ditandai
dengan perdebatan yang sangat intensif dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan,
yaitu mulai dari tahun 1945, sebagai periode awal perdebatan HAM, diikuti
dengan periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde
Baru (tahun 1966-1968). Dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan
HAM sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan
sangat serius. Meski demikian pada periode-periode emas tersebut wacana HAM
gagal dituangkan ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi.
Dalam
perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia telah memiliki tiga
undang-undang dasar dengan empat kali masa berlaku yaitu : Undang-undang Dasar
1945 yang berlaku mulai dari tanggal 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949,
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) yang mulai berlaku pada
tanggal 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950, dan Undang-undang Dasar Sementara
Tahun 1950 yang di berlakukan 17 agustus 1950 – 5 Juli 1959. Lalu sejak tanggal
5 Juli 1959 sampai dengan sekarang konstitusi Negara Indonesia kembali pada
Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam
konstitusi RIS tentang HAM di atur dalam pasal 7 - 33. Sedangkan dalam UUDS
tahun 1950 tentang HAM ini di atur dalam pasal 7 – 34. Pengaturan tentang Hak
Asasi manusia dalam UUDS 1950 merupakan pemindahan dari pasal-pasal yang
terdapat dalam konstitusi RIS hanya berubah satu kalimat saja dan penambahan
satu pasal.
Ketika
para pendiri negara (founding fathers) merumuskan Konstitusi Negara RI tahun
1945 juga tidak lepas dari diskursus tersebut. Prof. Soepomo memandang HAM
sangat identik dengan ideologi individual-liberal yang karenanya tidak cocok
dengan sifat kekeluargaan bangsa Indonesia. Sementara M. Yamin berpendapat
bahwa tidak ada dasar apa pun yang dapat dijadikan alasan untuk menolak
memasukkan HAM dalam UUD yang sedang dirancang.
Dari pertentangan pemikiran tersebut akhirnya tercapai kompromi untuk
memasukkan beberapa prinsip HAM dalam UUD yang sedang dirancang. Wujudnya
adalah tampak pada pasal 27, 28, 29, 31, dan 34 UUD 1945. Dibanding dengan UUDS
Tahun 1950 yang memuat 36 pasal (pasal 7 – pasal 43) terkait HAM, tentu saja
pemuatan HAM dalam UUD 1945 relatif lebih sedikit.
Kemudian berbagai pihak berpendapat bahwa untuk melengkapi UUD 1945 yang
berkaitan dengan HAM, melalui MPRS dalam sidang-sidangnya awal orde baru telah
menyusun Piagam Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara.
MPRS
telah menyampaikan nota MPRS kepada presiden dan DPR tentang pelaksanaan
hak-hak asasi manusia. Karena berbagai kepentingan politik pada saat itu,
akhirnya tidak jadi di berlakukan. Dapat dilihat bahwa pada saat itu
pemerintahan Orde abaru bersifat anti terhadap piagam HAM, dan beranggapan
bahwa masalah HAM sudah di atur di berbagai peraturan perundang-undangan. Untuk
menghapus kekecewaan pada kepada bangsa Indonesia terhadap piagam HAM, maka MPR
pada sidang Istimewanya pada tanggal 11 Nopember 1998 mensahkan ketetapan MPR
Nomor XVII/MPR/1998 yang menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan
seluruh Apratur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman
mengenai HAM kepada seluruh masyarakat. Ketetapan ini juga menegaskan kepada
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB
tentang HAM, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Perkembangan
demokrasi dan HAM pada era orde baru belum berjalan dengan baik. Meski demikian
terdapat beberapa peraturan yang menyangkut tentang HAM yang lahir pada masa
orde baru. Hal tersebut lebih disebabkan faktor keanggotan Indonesia sebagai
anggota PBB, penghormatan terhadap Piagam PBB dan Deklarasi Universal HAM serta
untuk perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM sesuai dengan
prinsip-prinsip kebudayaan bangsa Indonesia, Pancasila dan Negara berdasarkan
atas Hukum telah menetapkan:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
2. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Hak-Hak Anak,
3. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional HAM.
Pada tanggal 15 Agustus 1998 Presiden B.J. Habibie telah menetapkan berlakunya
Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi
Manusia Indonesia 1998-2003 atau yang disebut RAN HAM. Dalam Keppres tersebut
ditegaskan bahwa RAN HAM akan dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan
dalam program 5 (lima) tahunan yang akan ditinjau dan disempurnakan setiap 5
(lima) tahun.
Perkembangan-perkembangan
yang terjadi begitu cepat dalam lingkup domestik maupun Internasional dan
kehadiran Kementrian Negara Urusan Hak Asasi Manusia pada Kabinet Persatuan
Nasional (yang kemudian digabungkan dengan Depatemen Hukum dan
Perundang-undangan menjadi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia) membuat
RAN HAM harus disesuaikan.
Sebagai
tindak lanjut dari Keppres Nomor 129 Tahun 1998 maka ditetapkanlah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 yang merupakan penetapan dari pengesahan
Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain
yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia)
Pada
tanggal 23 September 1999 diberlakukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia yang berlandaskan pada Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998.
Selain diatur mengenai Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia, dalam UU
HAM juga diatur beberapa hal yang berkaitan dengan Kewajiban Dasar Manusia.
Pada tanggal 8 Oktober 1999 Pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Keluarnya Perpu tersebut didasarkan pada pertimbangan untuk menjaga agar
pelaksanaan HAM sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta memberi
perlindungan, kepastian, keadilan dan perasaan aman bagi perorangan maupun
masyarakat maka perlu diambil tindakan atas pelanggaran terhadap HAM.
B. HAM dalam
Undang-Undang Dasar 1945
Memasukan
norma HAM ke dalam Undang-undang Dasar Indonesia merupakan perjuangan yang
panjang. Pada awal Negara di bentuk telah menjadi pertentangan antara pendiri
Negara dan perancang konstitusi tentang perlu atau tidaknya HAM dimasukan ke
dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pertentangan tersebut terjadi
karena adanya pandangan bahwa prinsip HAM identik dengan ideology
liberal-individual yang tidak sesuai dengan jiwa bangsa.
Perdebatan mengenai masalah ini mencapai titik temu ketika disetujui adanya
pembatasan HAM yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Karena itu, pemahaman
terhadap Pasal 28J pada saat itu adalah pasal mengenai pembatasan HAM yang
bersifat sangat bebas dan indvidualistis itu dan sekaligus pasal mengenai
kewajiban asasi. Jadi tidak saja hak asasi tetapi juga kewajiban asasi. Karena
itulah, dengan undang-undang, hak dan kebebasan yang telah dicantumkan dalam
pasal-pasal sebelumnya dapat dibatasi dengan maksud semata-mata :
1. untuk menjamin pengakuan serta penghormatan dan pembatasan terhadap hak dan
kebebasan orang lain dan
2. untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pada
saat itu rumusan pasal 28I ayat (1) (yang terkenal dengan pasal retroaktif)
hampir deadlock karena ada yang tidak setuju terhadap rumusan Pasal 28I ayat
(1) itu. Akhirnya rumusan Pasal 28I ayat (1) dapat diterima dan disahkan dengan
pengertian yang utuh dengan rumusan Pasal 28J. Jadi pasal 28I, tidak dapat
ditafsirkan secara independen. Hal ini ditegaskan kembali dalam buku
sosialisasi hasil Perubahan UUD yang dikeluarkan oleh MPR RI. Sedangkan
kekhawatiran tidak terakomodirnya prinsip-prinsip kolektivitas dan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama terjawab dengan rumusan bagian akhir dari pasal 28J
itu. Berdasarkan pertimbangan itulah dalam hal-hal tertentu rektroaktive itu
dimungkinkan sebagaimana yang diatur dalah undang-undang pengadilan HAM.
Pasal
lain yang menyita waktu perdebatan dan loby yang melelahkan adalah rumusan
Pasal 28E ayat (1). Terkait dengan “aliran kepercayaan”. Semula tiga baris
pertama rumusan ayat (1) tersebut kata “dan kepercayaannya itu” setelah kata
agama, yang mengikuti rumusan Pasal 29 ayat (2). Penambahan kata
“kepercayaannya itu” ditentang oleh sebagian anggota dan meminta agar dua kata
tersebut dihapuskan. Pada sisi lain anggota yang sangat keberatan dengan
penghapusan dua kata itu, karena dua kata tersebut tercantum juga dalam pasal
29 ayat (2). Jalan keluar atas perbedaan ini yang disetujui bersama adalah
mengenai aliran kepercayaan diakomodir pada ayat (2) Pasal 28E ini yaitu hak
atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan
hati nurananinya.
Berikut adalah nilai-nilai Hak Asasi
Manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945:
1. Kemerdekaan ialah hak segala bangsa (Pembukaan UUD 1945, alinea pertama
)
2. Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan (Pembukaan UUD, alinea pertama )
3. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
(Pembukan UUD 1945, alinea ke empat)
4. Memajukan kesejahteraan umum (Pembukaan UUD 1945, alinea keempat)
5. Mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945, alinea keempat)
6. Ikut melaksanakan ketertiban dunia (Pembukaan UUD 1945, alinea keempat)
7. Hak atas persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 Ayat
1 UUD
1945)
8. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2 UUD 1945)
9. Hak dan kewajiban ikut serta dalam upaya pembelaan Negara (Pasal 27 Ayat 3
UUD 1945)
10. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul (Pasal 28 UUD 1945)
11. Kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan (Pasal 28 UUD
1945)
12. Hak untuk hidup (Pasal 28A UUD 1945)
13. Hak bekeluarga (Pasal 28B UUD 1945)
14. Hak mengembangkan diri (Pasal 28C UUD 1945)
15. Hak mendapatkan keadilan (Pasal 28D UUD 1945)
16. Hak Kebebasan (Pasal 28E UUD 1945)
17. Hak berkomunikasi (Pasal 28F UUD 1945)
18. Hak mendapatkan keamanan (Pasal 28G UUD 1945)
19. Hak mendaptkan kesejahteraan (Pasal 28H UUD 1945)
20. Hak memperoleh perlindungan (Pasal 28I UUD 1945)
21. Kewajiban menghormati hak orang lain (Pasal 28J UUD 1945)
22. Kewajiban tunduk pada undang-undang (Pasal 28J UUD 1945)
Prinsip
HAM ini telah di akui dalam Undang-Undang Dasar negar Indonesia HAM dalam UUD
1945 yang menjadi basic law adalah norma tertinggi yang harus dipatuhi oleh
negara. Karena letaknya dalam konstitusi, maka ketentuan-ketentuan mengenai HAM
harus dihormati dan dijamin pelaksanaanya oleh negara. Karena itulah pasal 28I
ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan
pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.
C. HAM dalam UU No.39 Tahun 1999
Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
UU No. 39 Tahun 1999 ini memuat norma-norma ataupun prinsip-prinsip HAM yang
dihasilkan berbagai deklarasi, konvensi, maupun oleh statute Roma, maka masalah
HAM di Indonesia telah menggunakan standar International (khususnya standar
barat) yang selama orde baru berkuasa dan bahkan oleh cina dan Malaysia sangat
berhati-hati dalam mengadopsinya.
Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia disahkan pada tanggal 23
September 1999. Undang-undang ini terdiri atas 11 bab dan 106 pasal yang antara
lain memuat hak-hak sebagai berikut :
1. Hak untuk hidup (Pasal 9)
2. Hak berkeluaga dan melanjutkan keturunan (Pasal 10)
3. Hak mengembangkan diri (Pasal 3-6)
4. Hak memperoleh keadilan (Pasal 17-19)
5. Hak atas kebebasan pribadi (Pasal 20-27)
6. Hak atas rasa aman (Pasal 28-35)
7. Hak kesejahteraan (Pasal 36-42)
8. Hak turut serta dalam pemerintahan (Pasal 43-44)
9. Hak wanita (Pasal 45-51)
10. Hak anak (Pasal 52-66)
D. HAM Dalam Undang-Undang Lainnya Di Indonesia
1. Undang-undang No 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Pengadilan HAM adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat. Pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
HAM baik pelanggaran HAM dilakukan oleh perseorangan, kelompok orang sipil
maupun militer .
Pelanggaran HAM berat yang meliputi :
a. Kejahatan Genosida
b. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Menurut
Pasal 8 Undang-Undang No 26 tahun 2000 Kejahatan Genosida adalah setiap
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama,
dengan cara:
1) Membunuh anggota kelompok;
2) Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap
anggota-anggota kelompok;
3) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
4) Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran didalam
kelompok; atau
5) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan
terhadap kemanusiaan
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf b
adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditunjukan
secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
1) Pembunuhan;
2) Pemusnahan;
3) Perbudakan;
4) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5) Perampasan kemerdekaan atau perampasan fisik lain secara sewenang-wenang
yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6) Penyiksaan;
7) Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau strelisasi secara aksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual
lain yang setara;
8) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu yang didasari persamaan paham
politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan laim
yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menrut hukum
internasional;
9) Penghilangan orang secara paksa; atau
10) Kejahatan apartheid.
Pengadilan
HAM berada diperadilan khusus yang berada diperadilan umum, Pengadilan HAM
berkedudukan didaerah kabupaten atau kota yang daerah hukumnnya meliputi daerah
hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan untuk Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang
bersnagkutan.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang berdasarkan kepada UU No 39 Th
1999 bahwa Negara Kesatuan republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tipa
warganegaranya, termasuk perlindungan terhadap hak-hak yang merupakan hak asasi
manusia dan agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka
ia perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang
secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu
dilakukan upaya perlindungan serta mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberi
jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlauan tanpa diskriminasi.
Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan
kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin
pelaksanaannya.
Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18(delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan yang memerlukan perlindungan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasasn dan diskriminasi.
Dalam pasal 2 UU no 23 tahun 2002
mempunyai prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak yang meliputi:
a. Non diskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. Penghargaan terhadap pendapat anak
3. Undang-Undang
republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
Masuknya
undang-undang ini yang berhubungan dengan HAM diIndonesia ini mengacu pada
Pasal 28A, Pasal 28B, pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 E, Pasal 28F,
Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J yang terdapat dalam Undang-Undang
dasar 1945 Tentang HAM.
Dalam Pasal 1 UU No 23 th 2004 kekerasan rumah tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk
mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan
korban rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan rumah tangga.
Ruang lingkup rumah tangga meliputi:
a. Suami, istri, anak
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan sebagaimana dimaksud
pada huruf a karena hubungan darah perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut.
Pengahapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Penghormatan hak asasi manusia;
b. Keadilan dan kesetaraan gender;
c. Nondiskriminasi; dan
d. Perlindungan korban
Setiap orang dilarang melakukan
kekerasan dalam rumah tangga terhadap ruang lingkup rumah tangganya, dengan
cara :
*Kekerasan fisik
*Kekerasan seksual
Kekerasan
fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka
berat. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertidak, rasa tidak
berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Sedangkan
kekerasan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangga tersebut; pemaksaan hubungan seksual terhadap seorang dalam
lingkup rumah tagganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan
tertentu.
Dalam
Pasal 10 korban yang mengalami KDRT berhak mendapatkan perlindungan dari pihak
keluarga, kepolisisan. Kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau
pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah, pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan secara khusus berkaitan
dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum
pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, dan pelayanan bimbingan rohani.
Sumber :
http://yukalaw.blogspot.co.id/2012/02/sejarah-ham-di-indonesia-makalah.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia